MENGAKUISISI
PERUSAHAAN & MEMBANGUN MEREK
COCA COLA DAN STARBUCKS
Anang Rosida
e-mail : anang_mpm7rsd@rocketmail.com
Coca Cola
Seorang ahli farmasi dari Atlanta dan seorang
veteran tentara yang bernama John Pemberton membuat suatu tonik kesehatan
berbuih pada tahun 1886 yang resepnya sangat dirahasiakan, tetapi diduga
mengandung air, gula, sari daun coca, kafein dari kacang cola, caramel, asam
fosfor, vanilla, jus lemon, jeruk, minyak lemon, pala, kayu manis dan ketumbar.
Minuman ini dapat membangkitkan semangat di siang hari di daerah selatan AS
yang lingkungannya mudah membuat orang mengantuk. Akuntan Pemberton yang
berbakat, Frank Robinson seorang Yankee
yang pandai berbisnis mencarikan modal, menemukan nama yang mudah diingat itu,
dan membantu mendirikan sebuah perusahaan untuk memperkenalkan minuman ini ke
pasar. Seorang penjaga toko yang kemudian menjadi ahli obat-obatan, Asa
Chandler, dalam rangka mencari peluang bisnis, membeli perusahaan Coca Cola Co,
yang masih muda pada tahun 1891 seharga US$ 2.300. Robinson tetap dipertahankan
sebagai karyawan dan bersama dengan Chandler, dirintis jalan pembangunan merek
dan iklan yang dikemudian hari menjadi legenda Coca Cola.
Perusahaan menyelengarakan kontes desain yang
menghasilkan botol berlekuk yang sekarang sangat populer dan ditemukan oleh
sebuah perusahaan gelas di Indiana. Selain itu juga Coca Cola diasosiasikan
sebagai gerakan anti alkohol yang pada waktu itu menjadi masalah sosial dengan
judul kampanye ‘Minuman Nasional Anti Alkohol’. Karena kontroversial, mereka
menghilangkan unsur kokain dari minuman itu. Pada saat Candler dipilih sebagai
walikota Atlanta pada tahun 1916, Coca Cola dijual oleh keluarga Candler kepada
bankir dan perancang transaksi keuangan Ernest Woodrufff dengan harga yang pada
waktu itu tergolong luar biasa yaitu US$ 25 juta. Woodruff menunjuk anaknya
Robert yang berusia 33 tahun menjadi presiden dan membawa perusahaan menjadi
perusahaan publik dengan harga saham US$ 40 per lembar.
Dihitung nilai riilnya, maka jika dijual pada tahun
1998 harga mula-mula sebesar US$ 40 per lembar saham tersebut bisa bernilai
lebih dari US$ 6 juta. Kata yang paling terkenal di planet ini setelah ‘okay’ adalah Coca Cola. Merek ini secara
rutin berada di puncak peringkat brand
power, jauh melebihi nama-nama besar lainnya seperti Microsoft, IBM,
General Electric, Ford, dan Disney. Merek Coca Cola sendiri bernilai lebih dari
US$ 72,5 milyar menurut perusahaan konsultan merek Interbrand. (Drawbaugh, 2001).
Starbucks
Starbucks memiliki kisah lain. Starbucks pada awal
bertumbuhnya dikelola oleh Howard Schultz dengan visi untuk menjadikannya
sebagai perusahaan nasional yang akan menawarkan romantika seni Italia dalam
meracik ekspresso. Setiap toko akan didukung oleh para peramu kopi yang akan
meracik minuman ekspresso dan menceritakan asal-usul kopi-kopi yang lain.
Setelah Schultz membeli perusahaan tersebut dan menjadi CEO nya pada tahun 1987
(setelah bergabung sejak 1982), Starbucks bertumbuh dari suatu usaha lokal
dengan enam toko dan kurang dari 100 orang pegawai menjadi suatu usaha berskala
nasional yang mempunyai 1.300 toko serta 25.000 pegawai. Saat ini Starbucks
berada di kota-kota besar Amerika Utara, di Tokyo, di Singapura dan negara-negara
lainnya. Penjualan dan keuntungan Starbucks juga bertumbuh lebih dari 50 %
selama enam tahun dan nilai sahamnya, yang sekarang sudah mencapai puncaknya,
telah naik sepuluh kali lipat sejak tahun 1992 (Schultz, 1997)
HM Sampoerna
HM Sampoerna adalah
sedikit perusahaan di Indonesia yang mampu menuai sukses selama lebih dari 90
tahun. Di era kepemimpinan Liem Seeng Tee, Sampoerna pernah mencapai kinerja
terendah saat tentara Jepang menduduki negeri ini pada awal tahun 1940-an. Dji
Sam Soe merupakan aset keluarga yang tak ternilai harganya, merupakan faktor
utama yang memungkinkan Aga Sampoerna melakukan turnaround dan membangun kembali Sampoerna dari puing-puing
keruntuhan. Ketika kendali perusahaan dipegang Putera Sampoerna di era tahun
1980-an dan tahun 1990-an, perubahan lanskap bisnis yang berjalan sangat cepat
pada kurun waktu ini diantisipasi dengan baik oleh Putera melalui upaya-upaya
transformasi yang tak mengenal lelah – transformasi termassif dan tercepat
dalam sejarah perusahaan. Langkah transformasi inilah yang memungkinkan
Sampoerna memasuki ‘hypergrowth era’
selama kurun waktu 1990-an, dimana size
perusahaan naik hampir 38 kali lipat dalam waktu 10 tahun (Kompas Cyber Media, 19
Maret 2004). Pada tahun 2005, PT Handjaja
Mandala Sampoerna Tbk dibeli senilai Rp 18,58 triliun oleh PT. Philip Morris
Indonesia Tbk (KOMPAS, 19 Maret 2005). Menurut Angky Camaro, CEO Bisnis Lokal PT
H.M Sampoerna Tbk menyatakan bahwa yang sebenarnya dibeli oleh Philip Morris
adalah kultur yang termasuk bagian dari ekuitas merek Sampoerna sebesar US$ 5
Milliar sedangkan nilai buku aset Sampoerna seperti mesin, gedung, dan
sebagainya hanya dihargai sekitar US$ 1 Miliar (SWAsembada, Juli 2005).
MEREK
Barangkali keterampilan
pemasar profesional yang paling menonjol adalah kemampuan untuk menciptakan,
menjaga, melindungi dan menaikkan citra merek. Asosiasi Pemasaran Amerika (the American Marketing Association)
mendefinisikan merek atau brand sebagai nama, istilah, tanda, simbol, desain,
atau kombinasinya, yang ditujukan agar dapat mengenali barang atau jasa dari
satu atau sekelompok penjual dan membedakannya dari produk dan jasa para
pesaing. Berdasarkan peraturan perundang-undangan merek dagang, penjual
tersebut diberikan hak eksklusif untuk menggunakan nama mereknya selamanya.
Merek berbeda dengan aset lainnya seperti hak paten atau hak cipta yang
memiliki tanggal kadaluarsa. (Kotler, 2002)
Sebuah
merek yang diposisikan dengan baik mengasosiasikan namanya dengan keuntungan
yang diinginkan. Sejumlah contoh penentuan posisi merek (brand positioning) yang sukses adalah Toyota (dapat dipercaya,
berorientasi keluarga), Raffles Hotel (dewasa, aristokratis), Sony (kreatif),
Tiger Balm (kuat sekaligus lembut) dan Lexus (kualitas). Penentuan posisi
iniakan berjalan dengan sukses jika dirasakan dengan penuh antusias oleh setiap
orang dalam organisasi tersebut, dan pasar sasaran (target market) percaya bahwa perusahaan adalah yang terbaik dalam
memberikan keuntungan tersebut (Kotler, 2004).
Praktik
branding telah berlangsung selama
beberapa abad, namun teori branding
praktis baru berkembang dalam beberapa dekade terakhir. Pakar periklanan
terkemuka David Ogilvy mencuatkan isu pentingnya citra merek di tahun 1951.
Klarifikasi perbedaan antara merek dan produk diungkapkan secara gamblang
pertama kali dalam sebuah artikel klasik berjudul ’the product and the brand’ yang dipublikasikan di Harvard Business Review di tahun 1955
oleh Burleigh Garder & Sidney Levy. Wacana tentang konseptualisasi dan
pengukuran brand equity baru berkembang
di akhir dekade 1980 an. Pada dekade 1990 an isu global branding muncul ke permukaan dan mendominasi literatur
pemasaran internasional dan bisnis internasional (Tjiptono, 2005).
MEMBANGUN IDENTITAS MEREK
Upaya membangun
identitas merek memerlukan sejumlah keputusan tambahan terkait dengan nama,
logo, warna, tagline (slogan) dan
simbol. Sebuah merek lebih dari itum merek hanyalah alat dan taktik pemasaran.
Sebuah merek pada intinya adalah janji pemasar untuk menyampaikan sejumlah
fitur, keuntungan dan pelayanan yang konsisten kepada pembeli. Pemasar harus
menentukan sebuah misi untuk merek tersebut dan visi mengenai ingin menjadi apa
dan apa yang bisa dilakukan oleh merek tersebut. Pemasar harus berpikir bahwa
saat ini ditawarkan sebuah kontrak kepada konsumen mengenai bagaimana merek
tersebut akan berkinerja. Kontrak merek tersebut haruslah jujur. Paling
maksimal, kampanye merek hanya akan menciptakan pengakuan nama, pengetahuan
tentang merek, bahkan kecenderungan terhadap merek, namun kampanye iklan tidak
akan menciptakan keterikatan merek (brand
bonding), seberapa pun perusahaan mengeluarkan dana untuk iklan dan
publikasi. Brand bonding atau
keterikatan merek hanya akan terjadi jika konsumen mengalami manfaat langsung
yang dijanjikan oleh perusahaan. Faktanya adalah merek tidak dibangun oleh
iklan tetapi oleh pengalaman terhadap merek tersebut. Banyak perusahaan membuat
janji-janji merek tetapi gagal melatih karyawannya untuk memahami dan
memberikan apa yang dijanjikan oleh merek tersebut. Perusahaan dapat melakukan
penanaman merek secara internal (internal
branding) di kalangan karyawannya agar mereka dapat memahami, menginginkan,
dan memberikan janji yang diusung oleh merek tersebut (Kotler, 2004).
KESIMPULAN
Coca Cola merupakan
perusahaan yang mencengangkan dengan memiliki nilai merek tiga kali lipat fisik
(aset) dari Coca Cola Company yang dalam pembukuan dinyatakan sebesar US$ 24,5
milyar. Bagaimana merek Coca Cola mencapai nilai yang demikian tinggi ? Hal ini
bukan karena merek itu diluncurkan untuk melayani pasar yang sudah ada. Pasar
minuman ringan di masa itu terdiri dari root beer, sarsaparila, ginger ale,
sari jeruk, lemonade dan ramuan lain. Coca Cola menjadi merek besar karena
merek ini menciptakan pasar baru yang disebut cola (Al & Laura Ries, 2005).
Mengapa Coca Cola yang tercatat setidaknya sudah dua kali berpindah tangan
dibeli tetap memiliki daya tarik bagi investor
? Tentu saja karena investor memiliki keyakinan akan masa depan bisnis
cola, peluang pertumbuhannya yang masih tinggi dan gambaran bahwa Coca Cola
adalah sebuah bisnis yang berhasil dengan memiliki merek soft drink kuat yang dimilikinya. Dalam hal ini konsumen sering
memilih merek Coca Cola karena dianggap menciptakan pilihan diantara
produk-produk Coca yang ada, namun Coca Cola adalah yang pertama. Kemudian
untuk menyederhanakan keputusan bagi mereka yang sudah loyal untuk tetap
memilih Coca Cola. Soda yang berdasarkan hasil riset memiliki rasa paling
buruk, justru merupakan cola paling laku. Pemasaran minuman adalah pertarungan
persepsi, bukan rasa (Jack Trout, 2002).
Starbucks yang awal
pendiriannya terinspirasi oleh bar ekspresso di Italia pertama kali dibuka pada
1971 di Seattle oleh Jerry Baldwin, Zev Siegel dan Gordon Boeker dengan nama II
Giornale. Namanya diambil dari salah satu karakter novel Moby-Dick dengan logo
seorang siren, namun setelah pada
tahun 1982 dibeli oleh Howard Schultz, maka nama II Giornale tahun 1987 diganti
menjadi Starbucks. Pada Januari 2005 telah tercatat memiliki 8.949 outlet di
seluruh dunia dengan rincian 6.376 di Amerika Serikat dan 2.573 di negara lain.
Di Indonesia sendiri hingga Mei 2005 tercatat kafe-kafe Starbucks sudah ada di
Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan dan Bali (http://id.wikipedia.org/wiki/
Starbucks).
HM Sampoerna dijual saat
perusahaan berada pada puncak kejayaannya yaitu dengan nilai kapitalisasi pasar
US$ 5 milyar. Padahal sebelumnya nilai kapitalisasi pasar HM Sampoerna pernah
mencapai titik terendah sampai di bawah US$ 300 juta. Sebagai sebuah perusahaan
yang didirikan pada tahun 1913 di Surabaya, HM Sampoerna telah menunjukkan
prestasi besar dengan berhasil menjadi perusahaan rokok terbesar ketiga di
Indonesia setelah Djarum & Gudang Garam. Philip Morris sendiri yang
mengakuisisi HM Sampoerna sebenarnya merupakan perusahaan rokok terbesar di
Amerika Serikat namun masih menduduki peringkat dua sebagai perusahaan rokok
terbesar di dunia dibandingkan China National Tobacco Corp berdasarkan data
dari Euromonitor. (Kartajaya et al, 2004).
Dari contoh kasus ketiga
perusahaan tersebut sebenarnya terlihat, bahwa pada dasarnya investor yang
membeli perusahaan memiliki kecenderungan untuk mempertahankan merek mula-mula,
yaitu merek yang sejak awal dibeli bersama dengan perusahaan sudah ada yang
cukup kuat di benak konsumen. Membuat sebuah merek baru jauh lebih beresiko dan
mahal dibandingkan perusahaan meneruskan / membangun merek yang ada. Merek
memiliki peranan penting dan tidak sekedar adalah nama, simbol, slogan, dsb.
Merek bahkan sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari bagi para
konsumennya. Adakalanya juga bahwa investor justru membeli / mengakuisisi
perusahaan untuk menambahkan portofolio merek perusahaan (misalnya Philip
Morris mengakuisisi HM Sampoerna) dan membangun merek tersebut di bawah
manajemen perusahaan, contoh lain adalah Unilever saat mengakuisisi merek snack
Taro, Danone & Nestle saat mengakuisisi AMDK (Air Mineral Dalam Kemasan)
Aqua serta Coca Cola saat mengakuisisi Ades.
Mengelola merek
sebenarnya merupakan satu hal yang cukup kompleks. Ada kalanya perusahaan yang
sudah memiliki merek yang kuat bukan berarti merek tersebut selain memiliki
ekuitas tinggi berarti sudah dalam posisi yang aman bagi perusahaan, namun juga
di sisi lain perusahaan-perusahaan yang memiliki merek terkenal juga pernah
melakukan kesalahan yang cukup fatal, antara lain kasus ’New Coke’ Coca Cola. Dulu,
sejumlah eksekutif minuman ringan yakin bahwa pemasaran adalah pertarungan
rasa. Coca Cola Company memproduksi cola yang mempunyai rasa lebih manis dan
melakukan 200.000 uji rasa untuk membuktikan bahwa ‘Coke Baru’ (New Coke)
memiliki rasa lebih baru dari Pepsi Cola dan formula orisinil mereka, yang kini
disebut ‘Coca-Cola Classic’. Soda yang disebut oleh riset memiliki rasa paling
buruk, Coca-Cola Classic, kini merupakan cola paling laku, konsumen tidak
tertarik pada ‘Coke Baru’. (Trout, 2002)
Konsumen bersedia membayar lebih untuk merek
yang ternama. Para pencinta Coca Cola bersedia membayar kenaikan 50 % dari
harga produk daripada membeli produk pesaing dengan harga yang hampir
sama; Lexus dan Toyota Camry menggunakan
mesin yang sama namun merek Lexus lebih mahal US$ 10.000 daripada merek Camry.
Jelas bahwa ekuitas adalah aset. Brand Equity adalah dampak pembeda positif
setelah mengetahui nama merek terhadap respon, konsumen terhadap produk atau
jasa dengan merek tersebut. Ekuitas merek harus dibedakan dari valuasi merek (brand valuation), yaitu perkiraan total
nilai finansial dari merek tersebut (Kotler,
2004).
Model brand equity mapan dalam aliran psikologi kognitif yaitu model
Aaker (1991, 1995 ; Aaker & Joachimsthaler, 2000) dapat dilihat pada Gambar
1. Dalam model Aakerl brand equity
diformulasikan dari sudut manajerial dan strategi korporat, meskipun landasan
utamanya adalah perilaku konsumen. Aaker menjabarkan aset merek yang berkontribusi
pada penciptaan brand equity ke dalam
empat dimensi yaitu brand awareness (kemampuan
konsumen untuk mengenali atau mengingat bahwa sebuah merek merupakan anggota
dari kategori produk tertentu), perceived
quality (merupakan penilaian konsumen terhadap keunggulan atau superioritas
produk secara keseluruhan), brand
associations (segala sesuatu yang terkait dengan memori terhadap sebuah
merek) dan brand loyalty (suatu
ikatan / tautan yang dimiliki konsumen terhadap sebuah merek).
Gambar 1. Elemen Brand
Equity
Sumber : Aaker (1991,
1995), Aaker & Joachimstaler (2000)
Kesalahan manajemen
merek diantara banyak perusahaan merupakan hal yang sangat mengejutkan. Lebih
dari 60 % perusahaan tidak memiliki rencana-rencana candangan, 56 % mengatakan
mereka tidak mengukur nilai merek, dan 33 % tidak memiliki strategi-strategi
merek formal jangka panjang (Knapp, 2002).
Di sejumlah negara,
perusahaan-perusahaan multinasional mulai mengembangkan sendiri merek-merek
lokalnya dan / atau mengincar merek-merek lokal yang kuat untuk diakuisisi.
Beberapa contoh diantaranya meliputi Unilever mengembangkan minyak goreng Key
Soap dan Frytol di Ghana (Curwen, 2003); Cussons membeli sabun Asoka di
Indonesia (Chtterjee, 2002); Coca Cola Membeli Parle Products, merek minuman ringan
terbesar di India; Heinz membeli bisnis makanan Glaxo di India; dan Unilever
membeli bisnis sabun mandi dan deterjen Tata Group dan merek es krim India,
Kwality (Das, 1997). Merek-merek lokal terkemuka Indonesia yang sudah diambil
alih atau dibeli sahamnya oleh perusahaan asing meliputi saus tomat dan saus
sambal ABC (HJ Heinz); susu SGM (Numico); air mineral Aqua (Danone); kecap cap
Bango dan makanan ringan Taro (Unilever); biskuit Helios dan Nyam-Nyam
(Campbell); Indocement (Heidelberg, Jerman); Semen Gresik (Cemex, Mexico);
Danamon (Asia Financial Indonesia, konsorsium antara Deutsche Bank &
Temasek Singapura); BCA (Konsorsium Farallon), dan lain-lain (Tjiptono,2005). Berdasarkan
fakta-fakta tersebut, sebagian besar perusahaan lebih menyukai untuk mengakuisisi
perusahaan yang sudah memiliki merek yang cukup kuat dan membangun merek
tersebut lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Aaker, D. A, 1996, “Building Strong Brands”, New York : The Free
Press.
Aditama, Tjandra Yoga,”Rokok Quo Vadis”, Kompas Cyber Media, 19
Maret 2004
Drawbaugh, Kevin, 2001 “Brands in The Balance :
Meeting The Challenges to Commercial Identity”, London : Pearson Education
Fer,har,inu,joe,hln, 2005 “Wapres Harapkan HM Sampoerna Investasikan
Dananya di Indonesia” , KOMPAS edisi 19 Maret, Jakarta
Gani E K, 2005 “Membeli Culture
Senilai US$ 4 Miliar”, SWAsembada edisi bulan Juli, PT Temprint, Jakarta
Kapferer, J-N, 1992, “Strategic
Brand Managemen” : New Approaches to
Measuring and Managing
Brand Equity”, London : Kogan Page.
Kartajaya, Hermawan; Yuswohady; Sumardy, 2004 “4-G MARKETING : A 90 Year Journey of
Creating Everlasting Brands”, Jakarta
: MarkPlus & Co.
Kotler Philip., 2003 “Marketing Management”, 11th edition / International
Edition, Prentice Hall : New Jersey.
Kotler, Philip; Ang, Swee Hong; Leong, Siew Meng;
Tan, Chin Tiong, 2005 : “Manajemen
Pemasaran Sudut Pandang Asia”, Edisi Ketiga, Jilid Kedua, Jakarta : Indeks
Macrae, Chris, 1999 “Mini Cases on Brand Reality”, Westburn Publishers Ltd
Malhotra N. K.,
Peterson, M. and Kleiser, S. B., (1999), “Marketing
Research :
A State-of-the-art Review and Directions for the
Twenty-first Century”,
Journal of the Academy of Marketing
Science, Vol. 27, 2, pp.
160-183.
Murphy, J, 1998), “What is Branding?”, In : Brands, the
New Wealth Creators,
(Eds.) Hart, S. and
Murphy, J., London ,
Macmillan
Mintzberg, H., Quinn, J.
B. and Ghoshal, S.,1998, “The Strategy Process”,
Revised European Edition,
Hertfordshire, Prentice Hall Europe .
Louro,
Maria João; Cunha, Paulo Vieira, 2001 “Brand
Management Paradigms”,
Westburn
Publisher Ltd
Ries, Al & Laura, 2005 “The Origin of Brands”, Harper Business USA
Ries, A & J. Trout, 2003, “The 22 Immutable Laws of Marketing”, New York : HarperCollins Publisher Inc.
Temporal, Paul, 2001 “Branding in Asia – Membangun Merek di Asia”, Interaksara
Tjiptono, Fandy, 2005 “Brand Management & Strategy”, Yogyakarta
: Penerbit Andi
Trout, Jack, 2001 “Big Brands Big Trouble”, John Wiley & Sons
Willman, J., “Leaner, Cleaner and Healthier is the Stated
Aim”, Financial
Times, 23 Februari 2000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar